Pandemi covid-19 mengubah kebiasaan masyarakat di Indonesia. Salah satu kebiasaan yang berubah total adalah peralihan segalanya ke digital. Mulai dari belanja, bertransaksi, berkonsultasi hingga pembelajaran via daring. Semua dipaksa begitu karena keadaan. Tapi apakah Anda sadari, kebiasaan itu melekat dan tidak bisa dikembalikan lagi?

Digital saat ini berubah menjadi gaya hidup yang sering disebut ‘New Normal’. Perubahan pola kebiasaan itu, harusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk membantu dan lebih mengedukasi masyarakat dalam beradaptasi, memanfaatkan, dan mengoptimalkan sektor digital sebagai penopang ekonomi.

Sialnya, momentum ini tak hanya dipahami pemerintah saja. Para ‘pemain’ di sektor e-commerce memahami hal ini dan berusaha semaksimal mungkin, untuk menggaet lebih banyak pemasukan pada aplikasi buatan mereka.

Yang lebih parah, muncul fenomena social commerce yang digawangi oleh aplikasi Tiktok. Seperti yang banyak orang bicarakan, social commerce adalah media sosial yang memiliki 2 fungsi. Tidak hanya sebagai platform media sosial untuk entertain, tapi mereka juga merangkap fungsi komersial dengan menjual produk dalam aplikasinya.

Lalu kenapa semua orang takut? UKM, Ekonom bahkan Menteri Koperasi kita menakutkan masa depan dari inovasi Tiktok ini, kenapa? Ternyata ada banyak hal yang berbanding terbalik dengan ambisinya Tiktok. Sehingga Tiktok dianggap mengancam keberlangsungan ekonomi negara ini.

Ini Adalah 7 Alasan Mengapa Tiktok Berbahaya Untuk UKM Indonesia:

Pexels cottonbro studio 5081930 scaled

Sebagai platform yang numpang di negara orang, harusnya Tiktok patuh terhadap kebijakan negara yang mereka tumpangi. Tapi bagaimana kenyataanya saat ini? Tiktok saat ini malah jadi penyebab banyak masalah yang menerpa perekonomian Indonesia. Apa saja?

  1. Tiktok Bisa Dengan Mudah Memonopoli Pasar.

Tiktok dianggap dapat memonopoli pasar setelah mencuat kabar tentang Project S. Project S adalah projek besar Tiktok yang bertujuan menguasai pasar secara keseluruhan. Bagaimana caranya?

Lewat Project S, Tiktok tidak hanya ingin hadir sebagai tempat transaksi/marketplace, tapi juga turut andil sebagai penjual. Hal ini berbahaya karena dia akan berjualan sendiri di platform miliknya.

Andai ide ini terealisasi, apakah jika produk buatan mereka tidak laku, mereka akan diam saja? Jawabannya sudah jelas tidak mungkin. Mereka pasti melakukan cara apapun, agar produknya laku.

Hal ini karena mereka adalah pemilik platform. Jadi mereka bisa dengan seenaknya mengubah algoritma untuk produk milik mereka sendiri. Di sisi lain mereka juga punya kuasa untuk menenggelamkan kompetitornya.

Belakangan muncul rumor jika Tiktok diam-diam melakukan monopoli di platformnya, dengan mem-boosting algoritma skincareskincare yang berasal dari China. Skintific, Barenbills dan berbagai produk kecantikan asal China lainya tiba-tiba membanjiri seluruh linimasa aplikasi tersebut. Hal ini membuat produk skincare lokal tersingkir dan hilang dari pasar online.

  1. Tiktok Terindikasi Melakukan Predatory Pricing.

Kedua, Tiktok dianggap melakukan predatory pricing. Bagaimana tidak, barang-barang di Tiktok shop kadang memiliki harga di luar logika. Bagaimana bisa ada parfum harganya Rp100? Harga celana pendek Rp2000? Berapa HPP dari sebuah produk berharga kurang dari Rp5000?

Maka jawaban paling masuk akal adalah Tiktok bakar duit, untuk melakukan predatory pricing. Lalu, siapa yang ingin diserang? Jika kita menganggap bahwa Project S tidak dilakukan, maka tujuan predatory pricing ini untuk menarik user dari toko oren dan toko ijo yang jadi kompetitor Tiktok shop.

Tapi tanpa Tiktok sadari, mereka malah memaksa UKM dan UMKM terkena dampaknya. Bantuan yang dilakukan tiktok pada mitra-mitra produksi senegara itulah yang menjadikan kondisi pasar tidak stabil.

Hal ini juga sesuai dugaan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, yang mengatakan bahwa Tiktok pasti melakukan sesuatu dibalik semua kekacauan ini.

Kasus Tiktok ini sama seperti yang dilakukan Amazon 1-3 tahun kebelakang. Meskipun Amazon menaati seluruh aturan di India, hasil pencarian Reuters pada dokumen internal Amazon berkata lain. Mereka menemukan perlakuan khusus Amazon pada kelompok kecil di platformnya. Hal ini kemudian menjadi kasus karena dianggap melanggar UU persaingan usaha yang berlaku di India.

  1. Tiktok Meloloskan Banyak Produk Impor.Small business crash scaled

Menurut Anda, kenapa tiba-tiba barang impor membanjiri tanah air?

Karena paham cross border Tiktok shop, memungkinkan setiap orang untuk bertransaksi lintas negara. Hal ini dipermudah dengan tidak ada batas minimum barang impor boleh masuk dan tarif bea masuknya yang rendah.

Lalu siapa yang terdampak? UKM.  UKM yang masih settle di pasar dalam negeri kudu bersaing dengan produk-produk impor dari China yang harganya dibawah harga pasar di Indonesia.

Menurut Menteri Tenten, 80% penjual di e-commerce dan social commerce adalah seller yang menjual produk-produk impor. Hal ini juga sesuai dengan data BPS yang memaparkan bahwa 79,28% usaha di e-commerce dimiliki perseorangan.

Maka sudah benar jika banyak pihak, mendesak instansi-instansi terkait supaya melarang Tiktok shop beroperasi di Indonesia.

  1. Tiktok Rawan Penyalahgunaan Data Pribadi.

Selain mengancam UKM, Tiktok ternyata mengancam para usernya. Menurut berbagai media, Tiktok dapat mengambil kontak dan foto demi kepentingan penyesuaian iklan. Hal ini tentu berbahaya karena merenggut kerahasiaan data privasi dari user.

Tapi hal ini sudah terjadi di berbagai negara. Contohnya di Inggris, Tiktok terkena denda Rp237 Miliar. Hal ini terjadi karena mereka menyalahgunakan data pribadi 1 juta anak dibawah umur pada tahun 2020. Jadi bukan tidak mungkin, saat ini, Tiktok mengambil data Anda untuk ‘kebutuhan’ mereka.

  1. Tiktok bisa jadi Platform Perampasan Ide Usaha, Lewat White Labelling.

Apakah Anda mengetahui white labelling? White labelling adalah produk yang dijual oleh retailer dengan branding dan logo sendiri, namun produknya diproduksi oleh pihak ketiga. Terdengar familiar? Ya, ini karena kita selalu terpapar berita tentang Project S.

Tapi white label jadi hal masuk akal dan mungkin saja terjadi, jika melihat keinginan Tiktok yang ingin berjualan produknya sendiri. Apalagi mereka punya seluruh data barang-barang di Tiktok shop. Tinggal eksekusi doang, sangat mungkin terjadi, kan?

Dan hal tersebut dicegah dengan revisi Permendag Nomor 50/2020. Di dalamnya, pemerintah mengatur supaya Tiktok dan berbagai e-commerce tidak semena-mena untuk numpang dagang di Indonesia.

  1. Tiktok memaksa UKM Perang Harga, Bukan Perang Inovasi.

Karena meloloskan banyak barang impor, para UKM di Indonesia saat ini masuk dalam pasar persaingan harga yang tidak sehat. Objektivitas mereka saat ini hanyalah bagaimana caranya bisa jual barang yang ada dan mengalahkan barang-barang impor.

Ini merupakan satu kemunduran bagi lini usaha kita. Karena pada beberapa tahun lalu, sebenarnya kita telah menciptakan kesadaran masyarakat untuk mencintai produk lokal. Jadi produk-produk dalam negeri bisa membagi fokusnya, untuk on track mengejar pasar internasional dengan berbagai macam inovasi. Tapi setelah munculnya Tiktok shop, kita di bawa mundur lagi ke belakang. Masyarakat tidak peduli lagi dengan produk lokal, yang penting murah dan banyak diskon.

Ini merupakan satu kerugian yang harus segera disikapi pemerintah, jika tak mau perekonomian Indonesia semakin terpuruk karena satu aplikasi saja.

  1. Semakin Memundurkan Wacana Digitalisasi UKM

Digitalisasi scaled

Berdasarkan data temuan BPS dalam survei e-commerce tahun 2022, ditemukan fakta bahwa 78% UKM tidak bergabung untuk berjualan online karena lebih nyaman berjualan secara langsung. Sedang alasan lain dari ketidakmauan mereka berjualan online adalah karena tidak tertarik dan tidak memahami caranya.

Alasan itu harusnya dapat menjadi koreksi untuk pemerintah, jika benar ingin mewujudkan ekonomi digital sebagai tulang punggung ekonomi di tahun 2030. Masalahnya, Tiktok sebagai platform tidak mendukung keinginan pemerintah tersebut. Kok bisa?

Hal ini dikonfirmasi Direktur Bisnis dan Pemasaran Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada yang mengutarakan bahwa terdapat sejumlah aduan dari para pebisnis. Dalam aduan tersebut, mereka menuturkan tentang ketidakmampuan UKM meladeni persaingan harga dengan barang impor yang dijual sangat murah di Tiktok shop.

Jika kembali mempertimbangkan temuan BPS, kebijakan Tiktok shop meloloskan banyak barang impor ini bisa jadi hal ini berbahaya. Karena berpotensi membuat teman-teman UKM yang belum terdigitalisasi, jadi makin malas untuk berjualan online. Hal ini tentu akan berdampak pada gagalnya mimpi Indonesia mewujudkan 2030, yang bertumpu pada ekonomi digital.

Kenapa Masih Diminati, Padahal Bahaya?

Berdasarkan data yang diutarakan menteri Tenten dan dipaparkan BPS, sebenarnya mayoritas penjual di Tiktok shop berisi toko-toko milik pribadi. Angkanya bahkan menyentuh 80%. Itu artinya, UKM hanya mengisi di 20% sisanya. Jadi wajar, jika banyak UKM merasa keberatan dengan intervensi berbagai produk impor di pasaran.

Masih menurut BPS, secara proses bisnis, usaha e-commerce lebih banyak melakukan penjualan ke konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari pembelian suatu produk yang tidak untuk diperdagangkan kembali. Sebanyak 73,47 persen usaha hanya menjual produk ke konsumen akhir.

Kemudian, sebanyak 24,17 persen usaha melakukan penjualan campuran, baik ke konsumen akhir maupun ke agen/usaha lain. Selanjutnya, yang paling sedikit adalah usaha e-commerce yang melakukan penjualan online hanya ke agen/usaha lain, yaitu sebesar 2,36 persen usaha.

Dari situ, dapat disimpulkan motif orang-orang ikut berjualan di Tiktok shop. Karena para seller Tiktok shop mengincar 1,6 M user Tiktok untuk jadi target marketnya.

Alasan lain dari kenapa Tiktok shop ramai adalah:

  1. Tiktok masuk dalam media sosial terpopuler.
  2. Didesain untuk memudahkan promosi seller. Hal ini karena tiktok menghubungkan media sosial dan e-commerce dalam satu tempat, jadi memudahkan seller untuk mengelola.
  3. Biaya admin rendah, hanya 2000 – 1% dari total harga.
  4. Karena diplot sebagai media distribusi, maka konten disana ‘viral’nya lebih mudah. Jadi untuk para seller, tidak terlalu dipusingkan dengan strategi marketing yang berbelit.
  5. Produk yang dijual bisa dipromoin ulang oleh user lain.

Lalu, Bagaimana Kita Menyikapi Persaingan Tiktok shop Dengan Produsen Lokal Ini?

  1. Kita harus menuntut pemerintah, untuk bikin regulasi yang mengatur transaksi di media sosial. Karena kemudahan transaksi lah yang jadi salah satu value Tiktok shop.
  2. Perketat regulasi impor. Jangan sampai barang yang bisa diproduksi di Indonesia, kalah dengan barang impor yang terlanjur ada di pasaran.
  3. Canangkan peningkatan literasi pada teman-teman UKM.
  4. Bujuk Pemerintah dan instansi terkait untuk membantu UKM menaikkan kualitas barang tanpa menaikkan harga. Caranya? lewat pembinaan dan pendanaan. Jangan biarkan mereka hanya jadi penonton semua polemik ini.
  5. UKM harus dibantu untuk membangun network. Kenapa? Agar UKM kita yang jumlahnya banyak ini, bisa menjadi kekuatan baru yang dahsyat di pasar internasional.
  6. Pemerintah dan kementerian terkait wajib menjalankan moral suasion dengan ide mencintai produk lokal. Kita harus menanamkan kesadaran cinta pada produk lokal, jika ingin keluar dari persaingan harga dengan barang import.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Tiktok adalah ancaman serius untuk UKM dan bangsa Indonesia.

Apalagi dengan fitur Tiktok shop, platform Tiktok berubah jadi social commerce pertama yang merajai e-commerce dan membuat harga pasar tidak stabil.

Selain itu, Tiktok juga mendorong UKM untuk masuk dalam persaingan harga pasar yang tidak sehat dengan barang-barang impor.

Polemik ini harus segera ditindak lanjuti pemerintah dan kementerian terkait, jika tak ingin UKM tambah merana.

 

Sumber:

http://Statistik eCommerce 2022-2023, BPS.

https://www.suara.com/bisnis/2023/07/26/070000/5-fakta-ancaman-project-s-tiktok-shop-yang-rugikan-pelaku-umkm?page=all